doc.amin singgih |
Oleh: Mhd Anhar Husyam
ANDA merindukan cerita-cerita segar dan unik? Mari bertemu dengan kerumunan kata yang terangkum dalam kumpulan cerpen “Kisah Secangkir Teh” karya Softi Tresna. Buku ini seakan mengajak kita menyelami sejenak dunia imajinasi wanita yang ditulis oleh wanita berprofesi sebagai akuntan ini.
Cerita dalam buku ini diramu apik. Secara lembut penulis menyuarakan napas, denyut nadi dan suara wanita metropolis. Seolah mengabarkan bahwa dunia wanita teramat luas untuk digali lantas menjelmakannya dalam bentuk cerita yang indah dan menyentuh. Sofi Tresna paham betul akan hal ini.
Di tiap-tiap cerita dalam buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Penulis begitu lihai memainkan alur dan memikat pembaca, sehingga menumbuhkan ketagihan besar untuk menandaskan tiap cerita yang disuguhkan. Betapa ini sebuah kecerdasan si penulis dalam mengemas cerita. Lihatlah! Beberapa kali ending yang dibangun begitu meletupkan simpul-simpul imaji pembaca.
Dengan gaya bercerita yang ringan, Softi Tresna berhasil menuangkan berbagai peristiwa yang dilihat, dirasa dan didengarnya ke dalam cerita-cerita yang mengalir indah. Ini tentu karena deskripsi yang kuat tentang suasana maupun tempat yang diceritakan. Dialog antartokoh pun turut memperkokoh jalan cerita. Bangunan konflik yang menimbulkan tanya juga membuat pembaca tidak saja setia untuk terus larut dalam cerita, tapi juga menandakan cerpen ini telah mampu menjelma sebagai bagian dari sejarah kesusastraan Indonesia.
Diawali cerpen berjudul Luka yang Terluka, pembaca diajak menyelami relung lembut dari wanita, bagaimana arti sebuah kesetiaan seorang wanita yang telah ditinggal bertahun-tahun oleh suaminya, namun ia tetap bertahan dengan berbagai cobaan untuk sekadar berharapan yang sederhana, bertemu suaminya. Namun, ketika perjumpaan yang dinanti tiba, malah menerbitkan luka baru, sedangkan luka lama masih menganga. Sungguh miris, tapi inilah sebuah realitas yang mungkin akan kita temui.
Dilanjutkan cerita imajinatif dan berjudul unik, Pukul 19 Lewat 19 Menit, mengisahkan perjalanan arwah seorang bernama Ayu yang menjadi korban musibah gempa. Monolog arwah ini kerap menggelitik, seolah mengajak pembaca bercermin, betapa setelah kehilangan kita baru merasakan betapa berharganya sesuatu yang pernah kita miliki.
Kemudian pada Kekasihku oh Kekasihmu pembaca akan menemui wanita yang sudah usia kepala tiga. Selang waktu bergulir, akhirnya ia menemukan seorang kekasih bernama Rian. Namun herannya, Rian yang telah cukup umur dan mapan selalu menolak tatkala diajak berbicara tentang masa depan hubungan mereka berdua. Ending cerita sangat menyengat, mengingatkan sebuah realita yang kini mulai merebak, sungguh betapa ironisnya. Sekali lagi, betapa potret metropolitan terlukis apik di cerita ini.
Ada satu sisi menarik dari kumpulan cerpen ini, yaitu pengemasannya yang terkesan ringan. Sehingga dari awal, pembaca merasa tidak terbebani untuk menandaskan buku ini sekali duduk. Benar-benar mencerminkan pengertian dari sebuah cerpen secara awam atau setidaknya menyiratkan kumpulan cerpen ini juga mewujudkan identitas kontras atas pengemasan sebuah novel.
Cerpen penutup yang juga menjadi judul buku ini, Kisah Secangkir Teh, mengisahkan peristiwa yang tersaji tatkala Dinda dan Nadia menikmati secangkir teh di Rumah Teh Widuri Tan Goen.
Betapa dari segelas teh bisa menjelma jalinan konflik yang ranum. Dari rumah teh ini terkuak rahasia besar tentang pertanyaan Dinda yang selama ini tak terjawab. Tentang orang tua sebenarnya, juga siapa sebenarnya dirinya. Sungguh sebuah cerita yang mengharukan. Walau alurnya terkesan dipadatkan, tetapi esensi dari cerpen tersampaikan dengan indah.
Ada sepuluh cerpen dalam buku ini. Seluruhnya menyajikan ruang imaji untuk pembaca. Secara keseluruhan, pengarang berhasil menyajikan cerita yang menarik. Pembaca dihadapkan pada kejutan-kejutan yang disudahi dengan kelegaan setelah menikmati cangkir-cangkir kisah dalam buku ini.
Di tiap-tiap cerita dalam buku ini memiliki daya tarik tersendiri. Penulis begitu lihai memainkan alur dan memikat pembaca, sehingga menumbuhkan ketagihan besar untuk menandaskan tiap cerita yang disuguhkan. Betapa ini sebuah kecerdasan si penulis dalam mengemas cerita. Lihatlah! Beberapa kali ending yang dibangun begitu meletupkan simpul-simpul imaji pembaca.
Dengan gaya bercerita yang ringan, Softi Tresna berhasil menuangkan berbagai peristiwa yang dilihat, dirasa dan didengarnya ke dalam cerita-cerita yang mengalir indah. Ini tentu karena deskripsi yang kuat tentang suasana maupun tempat yang diceritakan. Dialog antartokoh pun turut memperkokoh jalan cerita. Bangunan konflik yang menimbulkan tanya juga membuat pembaca tidak saja setia untuk terus larut dalam cerita, tapi juga menandakan cerpen ini telah mampu menjelma sebagai bagian dari sejarah kesusastraan Indonesia.
Diawali cerpen berjudul Luka yang Terluka, pembaca diajak menyelami relung lembut dari wanita, bagaimana arti sebuah kesetiaan seorang wanita yang telah ditinggal bertahun-tahun oleh suaminya, namun ia tetap bertahan dengan berbagai cobaan untuk sekadar berharapan yang sederhana, bertemu suaminya. Namun, ketika perjumpaan yang dinanti tiba, malah menerbitkan luka baru, sedangkan luka lama masih menganga. Sungguh miris, tapi inilah sebuah realitas yang mungkin akan kita temui.
Dilanjutkan cerita imajinatif dan berjudul unik, Pukul 19 Lewat 19 Menit, mengisahkan perjalanan arwah seorang bernama Ayu yang menjadi korban musibah gempa. Monolog arwah ini kerap menggelitik, seolah mengajak pembaca bercermin, betapa setelah kehilangan kita baru merasakan betapa berharganya sesuatu yang pernah kita miliki.
Kemudian pada Kekasihku oh Kekasihmu pembaca akan menemui wanita yang sudah usia kepala tiga. Selang waktu bergulir, akhirnya ia menemukan seorang kekasih bernama Rian. Namun herannya, Rian yang telah cukup umur dan mapan selalu menolak tatkala diajak berbicara tentang masa depan hubungan mereka berdua. Ending cerita sangat menyengat, mengingatkan sebuah realita yang kini mulai merebak, sungguh betapa ironisnya. Sekali lagi, betapa potret metropolitan terlukis apik di cerita ini.
Ada satu sisi menarik dari kumpulan cerpen ini, yaitu pengemasannya yang terkesan ringan. Sehingga dari awal, pembaca merasa tidak terbebani untuk menandaskan buku ini sekali duduk. Benar-benar mencerminkan pengertian dari sebuah cerpen secara awam atau setidaknya menyiratkan kumpulan cerpen ini juga mewujudkan identitas kontras atas pengemasan sebuah novel.
Cerpen penutup yang juga menjadi judul buku ini, Kisah Secangkir Teh, mengisahkan peristiwa yang tersaji tatkala Dinda dan Nadia menikmati secangkir teh di Rumah Teh Widuri Tan Goen.
Betapa dari segelas teh bisa menjelma jalinan konflik yang ranum. Dari rumah teh ini terkuak rahasia besar tentang pertanyaan Dinda yang selama ini tak terjawab. Tentang orang tua sebenarnya, juga siapa sebenarnya dirinya. Sungguh sebuah cerita yang mengharukan. Walau alurnya terkesan dipadatkan, tetapi esensi dari cerpen tersampaikan dengan indah.
Ada sepuluh cerpen dalam buku ini. Seluruhnya menyajikan ruang imaji untuk pembaca. Secara keseluruhan, pengarang berhasil menyajikan cerita yang menarik. Pembaca dihadapkan pada kejutan-kejutan yang disudahi dengan kelegaan setelah menikmati cangkir-cangkir kisah dalam buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari Cerita...