doc.lena mirisola. |
Tidak sahabatku, tidak
saja pada kenangan, tapi juga pada dirimu, seutuhmu. Aku berjanji! Pada ibumu
yang dzuhur tadi barusan saja disemayamkan, yang tanahnya masih merah bata,
masih basah. Aku berjanji dalam
genggaman tangan keriput ibumu yang kian
melemah kemarin, pada suara yang makin merendah itu. Aku akan menjagamu, membawamu
ke sudut sempit kota tua ini. Aku berjanji sahabat, redakan raut lara itu, tenanglah.
Masih kurengkuh wajah sayu itu, yang
tangisnya seperti bocah.
***
Sahabatku, kamu masih ingat
kan? Ketika kita kecil dulu, selepas mega ditelan malam, selekas suara kaset mengaji menggerayang telinga, menyeruku yang masih telanjang dada
berendam di tepian sungai yang dangkal, yang berkali-kali menyerumu yang
masih saja pamer salto belakang dari pohon jambu biji yang dahannya menjorok
ke sungai.
Para bangau di
pematang sawah melintas di atas kepala, meninggalkan
kita. Kepak sayap mereka pulang ke sarang, membawa sejumput rezeki hari ini.
Saat itu juga, kita sudah berlari-lari, membawa belut-belut gemuk yang
menggantung, terikat pada seutas tali dari ilalang tua. Kita menyusuri jalan
setapak dengan hati-hati, karena kaki kita masih basah, karena jalan sudah
serupa warna tanah yang disepuh merah pucat senja.
Sambil sesekali berlari, kita memeras baju
yang berbau lumpur, memutar-mutarnya seolah baling-baling helikopter. Kita cekikikan
sampai di rumah untuk berganti sekenanya, lantas aku bergegas menyambar sarung
yang mulai pudar warnanya, sangit baunya.
Sambil memengunyah
singkong goreng yang sedari tadi aku kantongi dan mengenakan sarung dengan
gulungan yang asal jadi, mulutku yang penuh makanan itu memanggilmu dari
halaman rumah. kali ini teriakanku disahuti omelan emakku, “nggak tahu maghrib Kal?”
Untung saja emak masih
sibuk dengan kepingan emping belinjo yang dari siang tadi dihamparnya di teras
rumah. Oi, tentu saja kamu mendengarku, karena tiba-tiba sosokmu melesat, melompat dari daun jendela tak berjeruji dengan
sarung melingkar, seperti maling saja kurasa, makin komplit gelar itu karena
kamu dengan wajah cemas menenteng selop butut cunghai. Haha, itu kan selop
bapakmu, selop awet! Aku berani bertaruh, kamu pasti baru saja memutuskan selop
untuk ke-3 kali dalam seminggu ini.
“Parah benar kamu Wan,
kakimu itu lasak bukan main ya!” ledekku yang tak kau gubris saat itu.
“Wusss…! “ Seperti angin kau meninggalkanku beberapa meter, dalam sekejap.
“Woiii…!” seruku, yang tanpa ba-bi-bu
mencincing sarung layaknya orang bercelana kedodoran. Beberapa saat kemudian kita berebut jalan setapak,
jalan yang hanya bisa dilintasi
satu-satu. Kamu selalu saja mendahuluiku, mengalahkanku dalam kecepatan.
Sesampai di
gerbang masjid, berdua kita buru-buru ke arah pancuran bambu
guna mengambil wudhu. Di seberang, tepatnya di dekat beduk yang tiap Idul Adha
diganti kulitnya itu, Pak Coan sudah berkacak
pinggang, bulunya yang lebat terpamer di lengan, juga menyembul di bidang
dadanya, sedikit. Buntelan sarungnya begitu menonjol dan membuat perutnya yang
melar itu terlihat tambah gendut.
“Wan, kayaknya balon di
perutnya udah seperti orang hamil 7 bulan saja ya…” bisikku. Kamu membalas
bisikanku dengan tawa lepas, memamerkan gigimu yang sekuning pepaya setengah
masak itu.
“Hei! cepat kelien
dua!” pekik lelaki itu ke arah kami dengan nada yang serak-serak basah. Ah! Pak
Coan, rambutmu yang keriting hampir sebahu, berewok yang rapi dengan jambang
terpelihara itu, membuatmu seperti artis idolamu, kau memang mirip (tepatnya
dimirip-miripkan) dengan penyanyi yang lagunya jadi lagu wajib anak muda saat
digelar keyboard pesta di kampong ini, lagu Begadang-nya om haji Rhoma Irama.
“Oke Bang Roma!”
sahutmu seraya melambai tangan. Aku menyikut, takut si lelaki itu tersinggung, marah.
Tapi, sosok yang disebut begitu malah menyungging senyum, khas, senyuman
meradang ala Bang Haji Oma. Ganteng versi jadul. Alamak!
Berwudhu dengan air
berbau lumpur membuat ktia lekas-lekas meninggalkan pancuran dengan wudhu satu menit, lalu kita masuk ke
barisan sholat yang masih diawasi oleh Pak Coan. Kamu berakting kalem seraya
menyodorkan mulut ke telingaku “Sudah kayak securiti Tuhan lama-lama beliau ni
lah!” keluhmu, aku hanya nyengir dan bertakbir mengikut imam.
Selepas Isya, selekas mengaji
alif-ba-ta dengan Ustad Yono. Kita
bermain-main di tanah lapang, menjunjung obor dari buluh bambu bersumbu kain
perca. Tangan kita berayun naik-turun, kanan-kiri, menyabungnya dengan angin
agar api tak kalah oleh dingin.
Dan seperti biasa,
kamulah jagoannya, yang paling berani memulai,
menghasut aku dan anak lelaki lainnya untuk mengekor di belakangmu
yang berdiri paling depan. Niat utama
pasti untuk mengganggu, menakut-nakuti gerombolan anak perempuan, terutama
Delisa, anak guru ngaji kita yang tersohor paling cantik
di antara kawanannya, yang juga baik
perangainya. Padahal kau tahu, besoknya pasti akan dijewer sama Ustad
Yono sampai kupingmu memerah kulit rambutan masak.
“Psst! Kal, kau jangan
kasi tau ya sama yang lain” Bisikmu, aku mengangguk cepat.
“apa itu?” sahutku tak
kalah berbisik,
“Sebenarnya aku suka
sama Delisa!” sahutmu makin pelan. Aku mencium bau tajam dari mulutmu. Ah, ya!
Tadi sore kan kita baru saja makan pakai rendang jengkol. Lha, hahaha… pantasan
tadi Ustad Yono nutup-nutup idung gitu
pas giliran kita nyetor hafalan surat pendek. Terkekeh aku mengingat itu.
Sumpah! Kau pede habis! Haha.
“Apaa? Gak denger lah?”
tanyaku beberapa saat, pura-pura tak mendengar, kamu merengut, melipat kening
di wajahmu yang kian dewasa.
“sip! Rahasiamu aman…”
sahutku kemudian, kamu dengan sumringah mengacung jempol ke arahku.
“udah kau bilang ke
dia?” bisikku ke telingamu. Kamu mematung, memainkan mata. Aku menerka,
“belum ya?” kamu
mengagguk.
“kenapa? Kau kan
ganteng…”
“iyalah aku ganteng…”
“tapi gantengan aku lah!”
godaku dan kita berkejaran, lagi-lagi aku kalah. Rambutku siap-siap saja
dikucel-kucel olehmu.
Pernah kubilang, “kalau kau suka sama
Delisa, janganlah kau bikin dia takut gitu Wan!”
Tapi, kamu tak menggubris, tak peduli,
kamu selalu senang saja, karena berhasil
membuat gerombolan gadis kecil itu bertubruk ketakutan, berlari tak beraturan, saat itu kau selalu menceritakan ihwal
hantu-hantu yang berkeliaran di rimbunan bambu yang terkenal angker itu, membuat sekerumunan anak gadis itu ketakutan.
Wan, Kamu, adalah keberanianku di kali sepuluh,
bahkan lebih dari itu Wan. Sejak kecil,
aku kagum padamu, kamu banyak menjadi perisaiku, dari gangguan anak kampung
sebelah, yang banyak mengajariku menjelajah
tiap sudut kampung, yang mengajariku berenang di bendungan, menangkap belut,
naik sepeda onthel, juga membuat perangkap burung pipit dari batangan yang
serupa rotan.
“
Kau tentu masih ingat kan Wan?”
Beranda ini sepi. Hanya
rona oranye di barat yang masih setia menemani. Segerombolan bangau putih melintas, entah dari
mana mereka, tapi yang pasti mereka seperti halnya hati, terkadang hati akan
kembali, meski lama, meski dengan bentuk
yang berbeda, “bukan begitu Wan?”.
Aku terus berbicara pada lelaki yang
duduk di kursi roda tua itu. Lelaki yang tidak saja kehilangan fungsi kedua kakinya,
tapi juga ingatannya. Komplikasi saraf di otaknya membuatnya jadi pendiam yang
akut, trauma kecelakaan pun kerapkali merenggut ingatan sadarnya, hingga kini,
kumasih berusaha mengembalikan ingatanmu. Aku akan membayar apapun untuk itu
Wan, aku berjanji atas nama persahabatan kita yang indah, atas nama kekalnya
baikmu padaku.
Aku masih terus
bercerita tentang masa lalu, padamu, saat senja kian mengiring kita pada pekat.
Aku terus menguak memori kita, hingga, sebuah panggilan membuatku berhenti, sosok bersuara lembut itu menghampiri kita,
“Mas, sudah mau petang, masuk saja yuk…
”
Wanita itu berdiri di depan kita, tepat membelakangi
senja. Wajahnya teduh, kepalamu menegak. Matamu memicing. Mulutmu
tergerak-gerak, mengucap sesuatu, terbata. Yang kudengar kau berkata, “De… li…saa….”
[tanah deli,02 april-10 mei 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari Cerita...