penerbit padasan |
Maka, tidak
berlebihan jika diujar, bahwa buku ini selain sebagai rekam jejak beliau, juga
sebagai penandas dahaga tanya para pembaca yang kerap menggedornya.
Melihat sepak
terjang dalam menulis sastra, Hasan Al Banna patut menjadi salah satu figur
yang bisa menjadi sumber mata air bagi penulis
muda untuk belajar berproses dan menimba pengetahuan. Tak pelak,
penulis-penulis muda Sumatera Utara dipastikan menyempatkan diri mereguk ilmu dan
pengalaman sastra beliau.
Dalam buku ini, tersaji 14 cerita pendek yang sarat akan lokalitas. Hampir semuanya telah
dimuat di media, baik lokal maupun nasional, baik cetak maupun elektronik. Setiap
cerita menyajikan suspense tersendiri.
Pemikiran
penulis tertuang apik lewat cerita-cerita yang kontras dengan sudut pandang
awam. Kerap, saat membaca, pembaca akan menemukan sisi ”relatif” dari sebuah
pemahaman kata ”baik” dan ”buruk.” Tentu tidak menggurui, dan ini laiknya
gula yang larut dalam seduhan air teh. Terasa tapi tak terlihat kasat mata.
Cerita dalam buku ini dimulai dari kisah Rumah Amangboru. Penulis berhasil
merekam dan masuk ke ranah psikologis seorang Haji Sudung. Potret hidup modernis
yang kerap menenggelamkan sisi humanis dan ketimuran terikat kuat dalam cerita
ini. Sebuah cerita yang pantas dibaca tiap-tiap yang sudah dan akan
berkeluarga.
Di lembar lain, muncul Pasar Jongjong. Sebuah cerita yang menggelitik ego perkotaan,
betapa tidak? Kesederhanaan nyatanya lebih layak ditegakkan melebihi konsep
urbanis yang mau tak mau akan mengantarkan pola hidup manusia bermuara pada konsep
individualis. Dalam kisah ini, penulis mengaduk-aduk perasaan pembaca. Bisa
saja akan menerbitkan air mata usai membaca kisah ini. Haru, cemas, marah,
sedih, membaur campur aduk di hati pembaca.
Berikutnya, ada Sampan Zuleha-yang menjadi judul kumpulan cerita pendek ini.
Sebuah cerita miris. Gambaran getir dan realis kehidupan masyarakat marginal kebanyakan,
masih ada sisa penjajahan, yakni pembedaan gender. Zulaiha, sosok anak gadis
cacat fisik-tapi tidak secara psikis, setidaknya ini yang digambarkan penulis-
dari seorang nelayan tua. Impian sederhananya hanyalah bisa melaut. Ah, betapa
sulit menunaikan niat hatinya. Meski berakhir tragis, toh penulis tak lupa
menyisipkan pesan moral di tiap lembar ceritanya.
Cerecau Ompu Gabe hadir di halaman lain. Seperti judulnya, cerita ini
berkisah tentang ocehan seorang lelaki tua. Menarik! Penulis mengangkat setting
dan properti batak simalungun. Lihatlah, ujar yang begitu ramah di telinga, becak
siantar-yang BSA itu, lapo tuak-yang memang banyak terpajang di semerata
pinggir jalan, juga opera batak yang kian jarang dipertunjukkan, semua terselip
dengan rapi. Kerinduan yang diusung Ompu Gabe pada seseorang nyatanya berakhir
pada pengharapan yang kandas.
Selain cerita-cerita di atas, masih ada sekerumun cerita lainnya, semisal:
Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu, 15 Hari Bulan, Gokma, Parompa Sadun,
Ijazah, Rabiah, Kurik, Pertikaian Siasat dan Horja. Kesemua cerita mengalirkan
beragam alur dan kenikmatan tersendiri, kesemuanya ditulis dengan ramuan kata
yang kerap meletikkan imajinasi pembacanya.
Ya, membaca keseluruhan cerita dalam buku ini, membuat pikiran kita seolah
terkayuh menaiki sampan, berkecipak membelah sungai imajinasi yang teramu oleh
diksi yang memukau.
Menandaskan buku ini juga akan mengajak kita sadar atau tidak untuk
menambah perbendaraan kata lantas bermuara pada keinginan untuk membuka dan
lebih akrab lagi dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan menemukan
kata-kata yang jarang direguk oleh mata baca kita. Rasanya kita
perlu berterimakasih kepada penulis untuk
hal yang satu ini.
Melihat sekilas kover Sampan Zuleha. Ada aroma romantis mengembang, hasil
dari tatanan koral, kerang dan pasir pantai begitu manis untuk jadi sebuah judul buku-sekilas
terlihat feminim.
Hanya satu hal yang cukup disayangkan, yakni, buku ini belum masuk ke toko
buku terkemuka di Indonesia-semacam Gramedia. Padahal, konsumen utama -yang sudah
pasti pembaca sastra- adalah pengunjung di toko buku terkemuka tersebut.
Terlepas dari itu, secara konten dan kualitas kertas, buku ini adalah satu
dari beberapa sejarah khasanah sastra Indonesia. Sebuah artefak yang mahal dan
patut dikoleksi sebagai rekam jejak kita selaku penikmat setia sastra dan menjadi
monumen hidup seorang pandai fiksi Sumatera Utara dan Nasional, Hasan Al Banna.
Selamat melayarkan imajinasi anda.
Bravo!
(Muhammad Anhar. Pembina KOMA Medan dan Pendidik di SMP
Al-Azhar)
Dimuat di Rubrik Budaya Medan Bisnis
( http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/08/14/50479/melayari_imajinasi_dengan_sampan_zulaiha/ )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari Cerita...