Gerimis masih menggaris di etalase toko.Sama sepertiku yang kini menggarisi
rindu. Ya, rindu padamu, perempuan pecinta hujan.
Dulu, kerapkali
kudengar senandungmu tentang hujan dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya.
Sungguh, suaramu dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah.
Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini.
“Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu,
dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini telah terlingkar
cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah asa untuk memilikimu.
Ah! Segalanya
seperti mimpi. Andai engkau sudi berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu
itu, tentu aku berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat ini.
Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika
gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan berteduh di emperan
toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku
menunggu bus atau becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda motorku.
Di tempat ini pula, kita bertemu, aku senang kamu datang. Hanya ulas
senyum yang tersungging, tak ada tingkah
lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa sangat beruntung
menemukanmu lagi di tempat ini.
Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu yang
dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku.
Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir.
Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan banyak menabrakku. Ini
ibu itu meminta maaf, berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang
awas. Tangan yang keriput itu mencoba
membersihkan kemejaku yang terkena saus dagangannya.
Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak
pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah ini tidak sengaja
dilakukan. Aku bergumam, risih.
Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu
mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu memerhatikan, turut jongkok mendengarku yang berceloteh ringan menghibur
si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada beberapa detik, semacam magnet yang
menahan kedipan.
Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku
selipkan beberapa lembar rupiah ke dalam
lipatan daun pisang dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati.
Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku tersentuh. Masih kutatap langkah
ringkih itu hingga di tikungan pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar
dagangan di sudut emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja,
berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku.
Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk
hujan itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku pura-pura
menyembunyikan wajah di balik koran. Selang beberapa waktu aku memejamkan mata.
Meredup sejenak.
Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu.
Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat wajahmu yang
tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku.
Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab
dengan seulas senyum bijak.
”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta
merta membuat wajahku pias.
Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus
hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar tulisanku.
Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku. “Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya
menyerbu bak hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu mengimbangi
langkahku yang cepat.
“Masih,” jawabku pendek
“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu.
Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu.
Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat
membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu.
“Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat
sendiri.
“Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak
apa, tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda seperti
itu,”
“Oh... Iya, makasih,” sambungku datar.
“Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun
seperti ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan kaurentangkan seolah
ingin memeluk hujan.
Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu
akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah karena itu. Wajahmu
benar-benar polos, tak merias muka.
Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik? Gumamku
sambil tetap memandangi wajah yang masih juga menengadah itu.
Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja
kuketik pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa amat
sayang meninggalkan saat-saat bersamamu.
Sungguh, aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur hujan yang
kian deras.
Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan.
Masih seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini lurus
mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah mudamu.
Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk
melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu mengangguk sembari
tertawa riang. Aku tak tega menahan, kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.
Tampak sekerumunan
anak kecil, kau mengitari mereka dan ikut larut bermain kecipak air.
Anak-anak itu tak terusik sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling
melempar lumpur.
Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu
kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga menyembulkan deretan gigimu
yang serupa awan terang.
Ah! matamu
yang serupa telaga membuatku urung menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku
mengejar, dapat! Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya pegangan
itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam genangan air yang bercampur guguran
dedaun.
Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu
bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan. Ow! Aku lengah,
curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua tercebur dalam kubangan itu. Kemeja
kotak-kotakku kian lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur.
Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik!
Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku. Tak pelak wajahku
semakin tak karuan. Aku membalas. Kita berbalasan. Kita tergelak, bebas,
bahagia.
Ah, Ulahmu barusan tidak lantas
buatku marah, kamu memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu untuk
menemuimu. Ya, perempuan
hujan, aku memanggilmu. Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan,
benar-benar persis seperti hujan.
Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda
dan senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini kulihat wajahmu,
tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku tanya mengapa, kamu hanya membisu.
Kedua bola matamu malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di
rambutku.
“Aku harus pergi,” ujarmu
“Ya, aku juga, pakaian ini sudah kotor sekali,”
balasku mencoba mengeja jalan pikiranmu
Gerimis mulai kudengar. Ya, kali ini gerimis itu
mengalir darimu.
“Mungkin kita sudah cukup bersama...” ujarmu yang
perlahan mendaratkan usapan halus di wajahku. Aku terdiam, terpejam, sebentar.
Perlahan kubuka mata. Semua masih sama, genang air
masih kecoklatan. Rinai hujan masih setia membasah kepala, pakaian masih berlumur
lumpur, juga sekawanan anak kecil bertelanjang dada yang kini menyambangi. Senyum mereka potret bahagia. Sembari memeras baju
yang bau lumpur, mereka mendekat.
“Bang! Enak kan main hujan sama kami?” sapa mereka
polos
“Oh eh, iya dek, kesinilah...” panggilku masih dengan
wajah celingukan mencarimu. Mereka melingkar, merapat. Aku menatapi mereka satu
persatu.
“Abang boleh nanya nggak?” tanyaku sembari
mengeluarkan beberapa bungkus gula-gula dari tas. Tanpa kutawari, semua sudah berpindah ke mulut-mulut
kecil itu.
Aku tersenyum melihat binar polos mata mereka saat
mengulum gula-gula pemberianku.
”Abang mau nanya apa tadi?” tanya seorang anak kecil
berkepang dua. Aku tersadar.
”Eh, kakak cantik yang bareng abang tadi mana ya? Kalian tahu kemana dia pergi?”
”Kakak cantik? Cewek abang ya?”
”Iya benar, ada lihat?”
”Nggak ada. Dari tadi kan kita main hujan cuman sama
abang”
”Beneran?”
Gerombolan anak itu meninggalkanku. Sayup
senandung mereka tentang hujan lirih
mengalir. Aku terenyuh. Apa mungkin kualami halusinasi sebegini dalam? Ya,
tepatnya setelah kamu berkabar akan menikah dengan lelaki yang tak lain ayahku
sendiri.
(Basah
di kotamu, 2010)
Cerita "Antara Aku, Kau dan Hujan" ini jadi judul kumcerku.
Tuan Pujangga……
BalasHapusBagi sang bumi
Tak ada tutur sia-sia terlantun dari hujan
Untuk yang merembes dan hilang di jalan sunyi
Atau tertampung di bak kenangan
Karena semua mata air sunyi itu
Terkenang perut bumi atau menuju samudra yang mengharu biru
Bahkan sang langit menghaturkan salam untuknya
#Untuk sang hujAN# ^_^