Jumat, 13 Januari 2012

Antara Aku, Kau dan Hujan


cover depan

 Gerimis masih menggaris di etalase toko.Sama sepertiku yang kini menggarisi rindu. Ya, rindu padamu, perempuan pecinta hujan.



Dulu, kerapkali kudengar senandungmu tentang hujan dan seperti biasa aku pun larut di dalamnya. Sungguh, suaramu dan hujan adalah paduan suara yang indah, teramat indah. Sesuatu yang indah diingatan, setidaknya hingga hari ini.
“Maaf,” Sepotong katamu saat itu terangsur. Aku tahu, dari gurat wajah yang mengeras, dari jari manismu yang kini telah terlingkar cincin sakral. Aku tahu, telah tertutup sudah asa untuk memilikimu.
 Ah! Segalanya seperti mimpi. Andai engkau sudi berkisah tentang lelaki pilihan keluargamu itu, tentu aku berlega hati dan bisa menerima kata maafmu, setidaknya saat ini.
Kau, perempuan berparas manis datang sore ini ketika gerimis bertandang. Tepat ketika aku pulang dari kantor dan berteduh di emperan toko. Berdiri bersama tubuh-tubuh yang terjebak garis-garis hujan. Di sini, aku menunggu bus atau becak yang akan mengantar ke tempat reparasi sepeda motorku.
Di tempat ini pula, kita  bertemu, aku senang kamu datang. Hanya ulas senyum yang tersungging, tak ada  tingkah lain. Hanya diam dan kagum yang menyemat. Betapa merasa sangat beruntung menemukanmu lagi di tempat ini.
Perempuan bertubuh cahaya, gumamku. Dalam diammu yang dingin, kamu menyihir korneaku untuk senantiasa melirik. Oh! Mata berpelangi itu sangat magnetis! Batinku.
Aku beruntung, mungkin lebih tepat dikatakan takdir. Baru tiga detik yang lalu, seorang ibu tua dengan bawaan banyak menabrakku. Ini ibu itu meminta maaf, berkali-kali seraya menyumpah-nyumpah dirinya yang kurang awas. Tangan yang keriput itu mencoba membersihkan kemejaku yang terkena saus dagangannya.
Tanganku segera menahan. Pelan, sopan. Kurasa tidak pantas sesosok tua memperlakukanku begitu, apalagi bukankah ini tidak sengaja dilakukan.  Aku bergumam, risih.
Sambil tersenyum teduh, aku membantu ibu tua itu mengemasi dagangannya. Tanpa disangka, kamu memerhatikan, turut jongkok  mendengarku yang berceloteh ringan menghibur si ibu tua. Mata kita sempat beradu, ada beberapa detik, semacam magnet yang menahan kedipan. 
Selesai. Sebelum ibu itu beranjak, masih sempat aku selipkan beberapa lembar rupiah  ke dalam lipatan daun pisang dagangannya, sembari menitip pesan agar lebih berhati-hati.
Mataku masih mengekori sosok itu. Ah! Betapa aku tersentuh. Masih kutatap langkah ringkih itu hingga di tikungan pertokoan. Ibu tua berhenti dan menggelar dagangan di sudut emper yang terlindung dari tempias hujan. Sebentar saja, berkerubung pembeli. Pelangggannya mungkin, gumamku.
Aku tak sadar, entah sejak kapan mata yang sesejuk hujan itu memerhatikanku. Aku melihatmu. kamu berpaling, aku pura-pura menyembunyikan wajah di balik koran. Selang beberapa waktu aku memejamkan mata. Meredup sejenak.
Ada yang dingin merambat, mengalir lembut, suara itu. Perlahan kuturunkan koran. Sempat aku ingin melonjak saat wajahmu yang tiba-tiba menyembul di balik lembaran koranku.
Berlagak kalem, sempat kuangsur tanya. Kau menjawab dengan seulas senyum bijak.
”Maaf bang, korannya kebalik!” katamu yang serta merta membuat wajahku pias.
Tak mau berlama menanggung malu, bergegas kutembus hujan sembari mendekap tas yang berisi beberapa lembar tulisanku.
Engkau memanggilku. Tepatnya memanggil namaku. “Hari! Kamu masih menulis cerpen?” Bait tanya menyerbu bak hujan, menimpa-nimpa kepala. Kamu mengejarku lalu mengimbangi langkahku yang cepat.
“Masih,” jawabku pendek
“Ehem! Apakah masih menulis tentangku?” sambungmu. Aku menatap, kamu membulatkan mata, lucu.
Aku menggeleng. Rambutku yang lumayan lebat membuat beberapa percik air membasahi wajah putihmu.
“Eeh! maaf,” Ujarku gugup melihat ulah yang kubuat sendiri.
“Sudah ada yang lain ya? Maaf kalau begitu, nggak apa, tapi aku suka lihat kamu bantu ibu tua tadi, jarang ada pemuda seperti itu,”
“Oh... Iya, makasih,” sambungku datar.
“Kau tahu, aku selalu bahagia saat hujan turun seperti ini,” Ujarmu seraya mendongakkan wajah. Tangan kaurentangkan seolah ingin memeluk hujan.
Ah! Perempuan yang aneh. Bukankah bedak di wajahmu akan luntur? Tapi, hei! Aku tidak melihatnya menyeka wajah karena itu. Wajahmu benar-benar polos, tak merias muka.  Masih ada perempuan sebegini cantik? Tanpa poles kosmetik? Gumamku sambil tetap memandangi wajah yang masih juga menengadah itu. 
Tubuh kita kian basah. Tulisanku yang baru saja kuketik pun akan bernasib sama. Entahlah! itu tak kupedulikan. Kurasa amat sayang meninggalkan  saat-saat bersamamu. Sungguh, aku mencintaimu lagi dalam waktu sesingkat ini, dalam debur hujan yang kian deras.
Kamu masih juga berceloteh. Tentang kisah hujan. Masih seputar hujan. Masih saat hujan. Rambutmu yang ikal itu kini lurus mengikuti air yang mengalir membasahi baju merah mudamu.
Kamu mengajakku berlari, sesaat kita berhenti untuk melepas sepatu. Aku kerap berpesan agar hati-hati, kamu mengangguk sembari tertawa riang. Aku tak tega menahan, kuikuti larimu yang kini menuju lapangan.
Tampak sekerumunan  anak kecil, kau mengitari mereka dan ikut larut bermain kecipak air. Anak-anak itu tak terusik sama sekali, mereka semakin riang bermain dan saling melempar lumpur.
Kamu menarikku, mengajak turut berkecipak dalam satu kubangan. Aku terpeleset, kamu terkekeh sehingga menyembulkan deretan gigimu yang serupa awan terang.
 Ah! matamu yang serupa telaga membuatku urung menasehati, aku malah tertawa lepas. Aku mengejar, dapat! Tanganmu sempat kutangkap, tapi karena licin akhirnya pegangan itu terlepas dan kamu tergelincir, jatuh dalam genangan air yang bercampur guguran dedaun.
Kamu meringis seraya merengek memintaku menarikmu bangkit dari kubangan itu. Aku iba, lekas kujulurkan tangan. Ow! Aku lengah, curang! Kamu membalasku. Kini kita berdua tercebur dalam kubangan itu. Kemeja kotak-kotakku kian lamur, celana flanelku pun bersimbah lumpur. 
Kamu menatapku. Dalam. Sekejap tersenyum, tapi licik! Kedua tanganmu menciduk air dan menyiramnya ke arahku. Tak pelak wajahku semakin tak karuan. Aku membalas. Kita berbalasan. Kita tergelak, bebas, bahagia.
     Ah, Ulahmu barusan tidak lantas buatku marah, kamu memang seumpama hujan, menyejukkan dan mengail rindu untuk menemuimu. Ya, perempuan hujan, aku memanggilmu. Walau kadang menyebalkan, engkau selalu kurindukan, benar-benar persis seperti hujan.
Hujan bersalin gerimis. Sebentar lagi pasti akan reda dan senja yang merona merah saga itu akan menyapa kita. Kini kulihat wajahmu, tanganmu, tubuhmu, bibirmu, memucat. Aku tanya mengapa, kamu hanya membisu. Kedua bola matamu malah asyik menekuri rinai hujan yang masih membasah di rambutku.
“Aku harus pergi,” ujarmu
“Ya, aku juga, pakaian ini sudah kotor sekali,” balasku mencoba mengeja jalan pikiranmu
Gerimis mulai kudengar. Ya, kali ini gerimis itu mengalir darimu.
“Mungkin kita sudah cukup bersama...” ujarmu yang perlahan mendaratkan usapan halus di wajahku. Aku terdiam, terpejam, sebentar.
Perlahan kubuka mata. Semua masih sama, genang air masih kecoklatan. Rinai hujan masih setia membasah kepala, pakaian masih berlumur lumpur, juga sekawanan anak kecil bertelanjang dada  yang kini menyambangi. Senyum mereka potret bahagia. Sembari memeras baju yang bau lumpur, mereka mendekat.
“Bang! Enak kan main hujan sama kami?” sapa mereka polos
“Oh eh, iya dek, kesinilah...” panggilku masih dengan wajah celingukan mencarimu. Mereka melingkar, merapat. Aku menatapi mereka satu persatu.
“Abang boleh nanya nggak?” tanyaku sembari mengeluarkan beberapa bungkus gula-gula dari tas. Tanpa kutawari, semua sudah berpindah ke mulut-mulut kecil itu.
Aku tersenyum melihat binar polos mata mereka saat mengulum gula-gula pemberianku.
”Abang mau nanya apa tadi?” tanya seorang anak kecil berkepang dua. Aku tersadar.
”Eh, kakak cantik yang bareng abang tadi mana ya? Kalian tahu kemana dia pergi?”
”Kakak cantik? Cewek abang ya?”
”Iya benar, ada lihat?”
”Nggak ada. Dari tadi kan kita main hujan cuman sama abang”
”Beneran?”
”Masak kami bohong?”
Gerombolan anak itu meninggalkanku. Sayup senandung  mereka tentang hujan lirih mengalir. Aku terenyuh. Apa mungkin kualami halusinasi sebegini dalam? Ya, tepatnya setelah kamu berkabar akan menikah dengan lelaki yang tak lain ayahku sendiri.
                           (Basah di kotamu, 2010)

Cerita "Antara Aku, Kau dan Hujan" ini jadi judul kumcerku.





1 komentar:

  1. Tuan Pujangga……
    Bagi sang bumi
    Tak ada tutur sia-sia terlantun dari hujan
    Untuk yang merembes dan hilang di jalan sunyi
    Atau tertampung di bak kenangan
    Karena semua mata air sunyi itu
    Terkenang perut bumi atau menuju samudra yang mengharu biru
    Bahkan sang langit menghaturkan salam untuknya
    #Untuk sang hujAN# ^_^

    BalasHapus

mari Cerita...