Oleh: Arda Mahira*
Seperti biasa. Aku, kau dan pagi dengan dua cangkir biru yang masih mengepulkan aroma coklatnya. Di sini, seperti biasa, kita bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita kerapkali mengintip pagi dan arakan awan yang bergulung-gulung di timur.
Ini jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”. Kamu dan aku memang bekerja di rumah- SOHO (Small Office House Office). Ya, di beranda ini resmi kita buka tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia Craft dan fotografi, dan aku dengan seabrek dunia yang berkait kepenulisan. Sedari awal, kita sepakat memberi nama usaha dari nama kedua anak kita. Kamu sempat menolak, tapi akhirnya mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu pembawa rezeki?”
***
Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang kita cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita ihwal asyiknya kemarin sore saat berbecek-ria di Pajak Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang turut diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran besar, takjub merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak melintasi jalan yang becek penuh kubangan di sana-sini sambil tawar-menawar dengan para penjual yang ramah-ramah.
Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang bercerita, tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung di tiap pagi kita. Kejadian Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap pagi. Kita tahu, ini guna mengikat tali-tali hubungan kita agar tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di beranda ini akan bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar si kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik Bu’de mereka, Bu’de Zulaika.
Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu lembut itu menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita bertubrukan. Jelas, Ada bening di sana, dalam, sangat dalam. Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang menyinggahi perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok yang buatku selalu lekat. Ya, berada serumah, dan masa-masa memintal rasa bersama, buatku paham betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.
Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam hidupmu telah lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya, Air mata perempuanku bukan mengalirkan rasa sedih, tapi, sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki kerinduan yang hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu. Ya, kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang dalam diamnya menyayangi wanita yang sangat dijaganya, wanita yang kini kucintai.
Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap perempuanku, masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir yang ditimpa kilatan bias mentari itu. Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik membincang: “mas, enaknya menu makan siang nanti apa ya?” atau Tentang kritik tulisan-tulisanku yang habis kamu baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa yang buat kita saling selidik: “ini nurun dari siapa?”, tentang kerjamu, tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu merasa teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam dalam tatap beningmu, tapi kini kamu diam.
Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan membawa sebuah buku tebal, semacam diary. Kusodorkan itu padamu.
“ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam.
“bacalah” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong, ada tanda tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku bersampul hijau turkis itu? Tangan itu ragu menjulur. Aku lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan sekali.
“ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak awal kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada cahaya, “sudah saatnya kamu membacanya, mungkin ada yang terlewatku” sambungku sembari menyentuh lembut lenganmu. Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk. Ulas senyum tipis pun beradu.
***
01 Maret 2010
Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir, membawa sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan buku yang berlabel diskon 30%. Dalam hati kutertawa, konyol rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang diboyong Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck.
Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak sengaja lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam seorang gadis berperawakan sedang, berjilbab pink.
“Oooh!” hanya kata itu yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya membulat, menaikkan bulu matanya yang lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku yang jatuh kelantai.
“Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu berpaling dan kembali beralih pada kesibukanannya.
“Eh, oh, anu…” aku tergagap, “ em, maaf, maaf…” kataku terburu meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak keruh, sungguh! Ia mempesona dalam sederhananya. Benar-benar sosok yang sederhana.
“Enggak papa…” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif memunguti buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah buku. Gadis itu pun mematung heran, lantas ia bertanya.
“kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu.
“nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini” sahutku seraya menyodorkan kembali buku tebal bercover Sembilan padanya. “aku sudah baca, 3 kali” sambungku.
“ohya? Kan bagus bukunya?” tanyanya
Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti air sungai, seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus bergerak, menandakan ada yang sama, hidup, rasa, yang kian tumbuh.
2 april 2010.
Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku.
"...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri..."
Boi! Aku belum bisa ngomong apapun.
***
Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa lembar laramu menguap.
“Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku, seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk, meraih buku itu, lalu sibuk membolak-balik halaman dan menunjukkan satu lembar kusam di bagian pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya.
10 mei 2011
Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku mengutarakannya sangat konyol.Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian membuatku kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan yang luarbiasa, kekuatan seorang wanita, kekuatan yang dibangun dengan hati, dan cinta.
Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap menyapa beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya khidmat menikmati pemandangan kolam mungil yang tak jauh dari rumah. Saat itu, ikan-ikan bermunculan kepermukaan dan menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu untuk ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah, senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun melihatnya begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya lirih.
Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan kedua anak-beranak ini. Pada ikatan yang ada pada mereka. Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang berkesan?” Tanyaku pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan mengalirkan ceritanya yang lain.
“Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba, berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami sekeluarga belum sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus ide antara aku dan bunda untuk buat roti, dan yang paling menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah sosok pria yang sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau berpartisipasi dalam hal dapur. Anehnya lagi, besok ayah memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia belikan mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang, mainan kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.”
Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai tenggelam di barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih terus bercerita, seolah ia memang harus menumpahkan semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya, gumamku.
***
Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang menimpa-nimpa kepala, memantulkan percikan kenangan? Masih tergenang lara itu? Tempat berkaca, melihat masa lalu, merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu yang hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan.
Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada angka 10, langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa udara yang masih juga mendung. Ah, cocok benar siang nanti makan tempe mendoan dan sayur genjer khas buatanmu, batinku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan berbisik lirih “Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.” Janjiku, kukuh.
Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita melangkah meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak lama, celoteh riang kita terdengar, dari arah dapur.
Seperti biasa. Aku, kau dan pagi dengan dua cangkir biru yang masih mengepulkan aroma coklatnya. Di sini, seperti biasa, kita bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita kerapkali mengintip pagi dan arakan awan yang bergulung-gulung di timur.
Ini jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”. Kamu dan aku memang bekerja di rumah- SOHO (Small Office House Office). Ya, di beranda ini resmi kita buka tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia Craft dan fotografi, dan aku dengan seabrek dunia yang berkait kepenulisan. Sedari awal, kita sepakat memberi nama usaha dari nama kedua anak kita. Kamu sempat menolak, tapi akhirnya mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu pembawa rezeki?”
***
Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang kita cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita ihwal asyiknya kemarin sore saat berbecek-ria di Pajak Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang turut diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran besar, takjub merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak melintasi jalan yang becek penuh kubangan di sana-sini sambil tawar-menawar dengan para penjual yang ramah-ramah.
Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang bercerita, tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung di tiap pagi kita. Kejadian Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap pagi. Kita tahu, ini guna mengikat tali-tali hubungan kita agar tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di beranda ini akan bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar si kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik Bu’de mereka, Bu’de Zulaika.
Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu lembut itu menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita bertubrukan. Jelas, Ada bening di sana, dalam, sangat dalam. Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang menyinggahi perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok yang buatku selalu lekat. Ya, berada serumah, dan masa-masa memintal rasa bersama, buatku paham betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.
Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam hidupmu telah lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya, Air mata perempuanku bukan mengalirkan rasa sedih, tapi, sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki kerinduan yang hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu. Ya, kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang dalam diamnya menyayangi wanita yang sangat dijaganya, wanita yang kini kucintai.
Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap perempuanku, masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir yang ditimpa kilatan bias mentari itu. Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik membincang: “mas, enaknya menu makan siang nanti apa ya?” atau Tentang kritik tulisan-tulisanku yang habis kamu baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa yang buat kita saling selidik: “ini nurun dari siapa?”, tentang kerjamu, tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu merasa teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam dalam tatap beningmu, tapi kini kamu diam.
Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan membawa sebuah buku tebal, semacam diary. Kusodorkan itu padamu.
“ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam.
“bacalah” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong, ada tanda tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku bersampul hijau turkis itu? Tangan itu ragu menjulur. Aku lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan sekali.
“ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak awal kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada cahaya, “sudah saatnya kamu membacanya, mungkin ada yang terlewatku” sambungku sembari menyentuh lembut lenganmu. Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk. Ulas senyum tipis pun beradu.
***
01 Maret 2010
Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir, membawa sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan buku yang berlabel diskon 30%. Dalam hati kutertawa, konyol rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang diboyong Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck.
Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak sengaja lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam seorang gadis berperawakan sedang, berjilbab pink.
“Oooh!” hanya kata itu yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya membulat, menaikkan bulu matanya yang lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku yang jatuh kelantai.
“Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu berpaling dan kembali beralih pada kesibukanannya.
“Eh, oh, anu…” aku tergagap, “ em, maaf, maaf…” kataku terburu meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak keruh, sungguh! Ia mempesona dalam sederhananya. Benar-benar sosok yang sederhana.
“Enggak papa…” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif memunguti buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah buku. Gadis itu pun mematung heran, lantas ia bertanya.
“kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu.
“nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini” sahutku seraya menyodorkan kembali buku tebal bercover Sembilan padanya. “aku sudah baca, 3 kali” sambungku.
“ohya? Kan bagus bukunya?” tanyanya
Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti air sungai, seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus bergerak, menandakan ada yang sama, hidup, rasa, yang kian tumbuh.
2 april 2010.
Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku.
"...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang terlalu mencintai dirinya sendiri..."
Boi! Aku belum bisa ngomong apapun.
***
Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa lembar laramu menguap.
“Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku, seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk, meraih buku itu, lalu sibuk membolak-balik halaman dan menunjukkan satu lembar kusam di bagian pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya.
10 mei 2011
Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku mengutarakannya sangat konyol.Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian membuatku kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan yang luarbiasa, kekuatan seorang wanita, kekuatan yang dibangun dengan hati, dan cinta.
Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap menyapa beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya khidmat menikmati pemandangan kolam mungil yang tak jauh dari rumah. Saat itu, ikan-ikan bermunculan kepermukaan dan menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu untuk ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah, senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun melihatnya begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya lirih.
Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan kedua anak-beranak ini. Pada ikatan yang ada pada mereka. Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang berkesan?” Tanyaku pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan mengalirkan ceritanya yang lain.
“Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba, berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami sekeluarga belum sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus ide antara aku dan bunda untuk buat roti, dan yang paling menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah sosok pria yang sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau berpartisipasi dalam hal dapur. Anehnya lagi, besok ayah memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia belikan mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang, mainan kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.”
Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai tenggelam di barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih terus bercerita, seolah ia memang harus menumpahkan semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya, gumamku.
***
Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang menimpa-nimpa kepala, memantulkan percikan kenangan? Masih tergenang lara itu? Tempat berkaca, melihat masa lalu, merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu yang hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan.
Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada angka 10, langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa udara yang masih juga mendung. Ah, cocok benar siang nanti makan tempe mendoan dan sayur genjer khas buatanmu, batinku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan berbisik lirih “Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.” Janjiku, kukuh.
Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita melangkah meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak lama, celoteh riang kita terdengar, dari arah dapur.
***
Dimuat di Harian Mimbar Umum, 23 Juni 2012
Terangkum dalam Kumcer "Antara Aku, Kau & Hujan"
DuniaKOMA, 17.32.11.4.12.
Terangkum dalam Kumcer "Antara Aku, Kau & Hujan"
DuniaKOMA, 17.32.11.4.12.
*arda mahira adalah nama pena saya... ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari Cerita...