doc. pribadi |
Ia berdiri di pagar pembatas halaman, di bawah rimbun bambu cina yang lebat. Lelaki itu baru pertama kali ke tempat ini, ia mencoba untuk tidak merasa asing. Kedatangannya untuk menunaikan janji penghujung tahun lalu. Janji di sebuah kereta api kelas ekonomi, menuju kota kelahirannya.
:: Hari ini ia bertemu dengan wanita itu, sebayanya, wanita yang sejak pertemuan pertama berkenalan memanggilnya "Lilo" itu. Nama yang asing, nama yang pemilik aslinya sudah tiada, 4 tahun lalu, tepat saat kecelakaan pesawat itu terjadi.
Tak Jauh, di depan lelaki itu, 5 anak perempuan sebaya keponakan kesayangannya lincah bermain tali, sesekali diselingi cekikikan dari mulut mereka. Benar-benar bahagia, gumamnya.
Lelaki itu tertawa renyah, kecil, hingga sederet gigi atasnya terlihat, ada bahagia tersirat di wajahnya. Sejurus kemudian ia memejam mata, mereguk udara sedalam-dalamnya, lalu melempar ingatan ke masanya sewaktu kecil, di halaman rumah.
"Lo,"
Suara itu, panggilan dari Wanita itu, Ia menoleh, sekali lagi matanya menangkap rumah yang menyisakan ornamen lama, pola atisian Belanda.
Lelaki itu bangkit, melangkah menghampiri, mengangguk dengan wajah datar.
Satu kalimat yang bisa ia simpan di catatan harian tuanya: Ibu wanita itu sudah uzur, sakit-sakitan, merindukan anak lelaki satu-satunya yang sudah mendahuluinya. Bahwa cerita wanita itu yang mengundangnya, rasa kangen Ibu itu yang membawanya, dan sebentar lagi senja memaksanya, pulangkah? Atau kembali? Entahlah, yang ia ingin hanya bertahan, di hati yang benar-benar sederhana baginya, yang memelukkan tenang lewat senyuman sehangat rembulan...
#rumahira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mari Cerita...